Pengertian Insan Kamil dan Tareqat
Insan kamil berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan
berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian,
insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba
mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus
digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam
bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji
seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan
digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjuk¬kan pada
arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada
hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti
terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada
pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun
kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan
digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu
terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti
ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan
dijumpai di dalam al-Qur’an dan dibedakan dengan istilah basyar dan
al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga
asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti
melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata
nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang
artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata
anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin,
dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang
penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat
dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya
berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik
seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa
wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan
yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat
insan kamil. De¬ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung
pada essensi perbuatan tersebut.